Ini aku, yang kembali akan bercerita tentang kita.
Pertemuan kita sederhana saja, hanya persinggungan dua jalur takdir yang mempertemukan aku dan kamu. Semesta mengarahkanku untuk menuju padamu waktu itu. Bukan jenis perkenalan yang akan langsung membuat setiap orang berdecak kagum.
Pertemuan singkat saat hujan yang turun menyapa bumi itu ternyata akan terus berlanjut. Takdir sedang mempermainkan kita rupanya. Tidak puas dengan pertemuan pertama kita itu yang aku ragu kamu bahkan masih mengingatkan, ternyata takdir berkomplot untuk tanpa sengaja membimbing kita dalam pertemuan-pertemuan kita selanjutnya.
Kali ini kita dipertemukan dalam ruang dan waktu yang kembali bersinggungan. Aku sedang mencari novel-novel kesukaanku kala itu. Kamu tengah berdiri tegak sembari membaca buku tebal di kejauhan. Entah buku apa yang kamu baca. Kali ini kamu terlihat tanpa kacamata, hingga awalnya aku ragu itu kamu. Aku sampai harus memicingkan mata dan memastikan dalam diam bahwa itu memang adalah kamu.
Tak jauh di sebelahmu, aku melihat seseorang yang sekilas mirip denganmu yang sibuk berkutat dengan gadget-nya. Tak lama, ia terlihat seperti mengajakmu berbicara. Kamu terlihat menjawab seperlunya, lalu kembali fokus pada bacaanmu. Apa itu saudaramu?
Aku masih terpaku di salah satu sudut, menghadap puluhan buku yang menggoda untuk dibawa pulang. Masih berharap kamu melihatku dan menyadari kehadiranku. Lebih tepatnya lagi, berharap kamu masih mengingatku setelah pertemuan kita dahulu.
Tapi ternyata buku-buku di hadapanku sejenak mampu membuatku terlupa akan hadirnya dirimu. Aku terhanyut dalam kisah yang dituturkan secara apik dalam buku yang tadinya aku pilih secara acak. Tidak butuh waktu lama untukku menyelesaikan bacaanku. Aku memang awalnya tidak terlalu berniat untuk membaca keseluruhan cerita, namun nyatanya si penulis buku mampu mendongeng dan membawaku ke dunianya.
Lantas aku kembali mencari novel di rak lainnya. Aku berjinjit untuk mengambil salah satu buku. Rupanya badanku yang tidak tinggi ini menyulitkanku untuk mengambil buku di deretan alas. Lalu lalang beberapa orang yang lewat seolah tidak peduli dengan kesulitanku.
Dan di sanalah kita bertemu rupanya. Awalnya aku agak sedikit kesal menyadari tangan yang muncul begitu saja untuk mengambil buku yang menjadi incaranku. Mendadak aku berbalik dan mendapati dada bidang seseorang yang memaksaku mendongak untuk menatap wajahnya.
Coba tebak, siapa itu? Ternyata itu kamu. Iya, kamu. Sesaat kita berdua terpaku dengan posisiku yang menyandar ke rak buku dan kamu yang begitu dekat dengan tubuhku. Aku bahkan masih bisa merasakan debar jantungku saat itu yang begitu kencang. Pelan tapi pasti, aku merasakan wajahku memanas. Dan aku tahu pasti wajahku akan memerah sesuai dengan kebiasaanku selama ini yang mudah malu.
Cukup lama kita berada pada posisi tersebut. Orang lain yang melihat mungkin menyangka kita berdua adalah sepasang anak manusia yang sedang memadu kasih walaupun tidak tau tempat. Tapi itu salah besar. Kita berdua bahkan tidak mengetahui nama masing-masing.
Saat itu walau tanpa sadar banyak yang berputar dalam benakku. Aku mendapati sepasang bola mata hitam jernih yang seolah menyihirku untuk kedua kalinya. Ah, di mana kacamatamu? Apakah kamu sebenarnya biasa menggunakan kacamata ataukah tidak? Hidungmu tidak terlalu mancung rupanya namun terasa begitu pas. Aku menelusuri jejak titik-titik jenggot sedikit kasar yang baru mulai tumbuh di dagumu dengan mataku.
Lalu mataku beralih memperhatikan bibirmu yang terlihat begitu lembut. Timbul pikiran aneh yang seolah memaksaku untuk diam memperhatikan bibirmu itu. Untunglah aku segera tersadar. Apa yang akan kamu pikirkan mendapati seorang gadis yang berpikir cukup tidak sopan saat gadis itu dan kamu bisa dibilang adalah sepasang orang asing?
Aku bergegas menundukkan pandanganku, menatap sepasang sneakers yang menjadi andalanku ke manapun aku pergi. Tidak lupa aku mengucapkan terima kasih. Mencicitkan terima kasih lebih tepatnya. Aku mencoba untuk melarikan diri.
Aku memang gadis bodoh. Tidak seharusnya aku lari setelah lama menanti hari ini. Hari di mana kita bertemu kembali. Hari demi hari yang seolah begitu lama berlalu setelah pertemuan pertama kita itu.
Tapi ada sesuatu yang mencekal pergelangan tanganku. Sesuatu itu terasa kasar menyentuh kulitku, sekaligus begitu lembut. Aku mendadak berbalik dan mendapati sesuatu itu adalah tanganmu.
Kamu tersenyum. Bukan jenis senyuman palsu yang biasa orang-orang tampilkan untuk menutupi kebusukan diri mereka. Senyummu terlihat begitu tulus. Aku mencoba menggerakkan bibirku untuk membalas senyummu, tapi bibirku tampaknya sedang tidak singkron dengan otakku.
Kamu memperkenalkan dirimu secara singkat. Tampaknya kamu tidak ingat pernah bertemu denganku rupanya. Kenapa lidahku begitu kelu untuk menyebutkan nama? Pasti kamu menganggapku sombong saat itu karena begitu susah untuk menjawab pertanyaanmu.
Sesosok yang tadi menemanimu tampak menuju ke arah sini. Ia memanggilmu pelan dan mengajakmu beranjak dari sini. Tanpa bicara banyak, kamu pergi. Hanya pamitan singkat yang kamu ucapkan, juga ucapan semoga kita bisa bertemu lagi. Aku mengaminkan ucapanmu di dalam hati.
Aku sedikit menyesal waktu itu dengan tingkah lakuku. Kenapa aku harus bersikap begitu? Ah tapi biarlah. Jika memang yang Kuasa mengizinkan, sekeras apapun kita menolak takdir akan tetap mempertemukan kita.
Dan itulah yang akan terjadi ternyata.
Sadarkah kamu aku menuliskan surat ini pada tanggal empat belas Februari? Hari di mana orang-orang menyebutnya sebagai hari kasih sayang. Padahal bukannya sengaja karena hari ini hari valentine, tapi tadi aku tiba-tiba saja ingin mengambil pena dan menuliskan surat ini untukmu. Bukannya aku mendukung hari kasih sayang ini, aku hanya kaum netral yang merasa kasih sayang tidak harus dirayakan secara khusus.
Sudahlah, surat ini sudah terlalu panjang rupanya. Entah hal apa saja yang aku ocehkan dari tadi. Pasti kamu akan bosan membaca tulisan ngalor ngidul yang tidak jelas ini. Dan mungkin masih akan ada banyak lagi tulisan yang aku tujukan untukmu.
Kamu, si lelaki hujan yang mampu menyihirku tanpa kamu sadari.
Kamu, yang mampu menjadikanku tawanan dalam pesonamu.
Surat ini masih dariku, yang penuh dengan ketidaksempurnaan.
Sebut aku si chessy girl, tapi entahlah beberapa hari ini pengennya marah-marah dan bikin tulisan yang bikin jari-jari jadi keriting karena ngga banget.