Pengibaran bendera merah putih selalu mengiringi perayaan kemerdekaan Republik Indonesia. Berbicara tentang kemerdekaan, sebenarnya apa yang dimaksud dengan merdeka? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia V yang dikeluarkan oleh Kemendikbud, merdeka berarti bebas (dari penghambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri; tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa.
Sedangkan pengertian bebas adalah lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa).
Salah satu contoh kebebasan yang menjadi hak masing-masing warga negara adalah kebebasan mengeluarkan pendapat. Kebebasan berpendapat ini terdapat dalam pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.
Tahun ini, kita sudah memperingati kemerdekaan Indonesia yang ke-72. Sudah bertahun-tahun sejak Undang-Undang yang mengatur kebebasan mengeluarkan pendapat ini disusun. Saat masih masa Orde Baru, ruang gerak masyarakat untuk menggunakan haknya memberikan pendapat sangat terbatas. Setelah rezim Orde Baru ini digulingkan, mulailah babak baru bagi rakyat Indonesia untuk “bebas berpendapat”.
Terutama pada era media sosial, di mana kita dengan gampangnya untuk berbicara, menyampaikan kritik. Cukup dengan jempol, kita bisa menuliskan status di facebook, twitter, instagram, dan beragam medsos lainnya. Kita bisa memanfaatkan platform seperti youtube untuk menyampaikan tafsiran kita melalui video.
Salah satu contoh penggunaaan media social dalam kebebasan berpendapat.
Namun dewasa ini, banyak yang jadi salah kaprah. Kemerdekaan Indonesia dipersembahkan para pejuang dahulu kala, yang memberikan kita hak untuk merdeka memberikan pendapat telah disalahgunakan. Banyak orang dengan kemerdekaan menyatakan buah pikiran ini malah menjadi berlebihan. Dengan gampangnya mereka menyebarkan fitnah, memprovokasi, menjelek-jelekkan orang lain, membully, memposting berita hoax, menyinggung SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan), berkata kasar secara bebas dan menebar kebencian. Banyak yang menganggap bebas berarti infinite atau tak terhingga. Mereka menganggap tidak ada batas pada kebebasan berpendapat.
Kita lupa di balik kemerdekaan berpendapat yang kita punya, selain kita berhak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas dan memperoleh perlindungan hukum, kita juga punya kewajiban yang mengikuti dan tanggung jawab yang harus diemban. Kita punya tanggung jawab dan kewajiban untuk menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain.
Kita lupa bahwa di balik kemerdekaan dan kebebasan berpendapat ini, ada Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 yang mengatur tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Teknologi yang semakin berkembang jelas membutuhkan aturan. Bukan untuk membatasi kebebasan kita, melainkan karena globalisasi mengharuskan kita memiliki aturan hukum dalam beropini di media elektronik untuk kepentingan bersama.
Bebas berarti merdeka. Merdeka itu bebas. Namun kita lupa bahwa bebas bukan berarti tanpa batas. Media sosial bukan hanya milik pribadi seseorang, media sosial itu milik bersama. Media sosial itu ruang publik, di mana seperti pada dunia nyata, banyak orang yang menggunakannya.
Maka kita harus ingat ada batas-batas dalam kebebasan mengemukakan pendapat, di dunia nyata dan di media sosial. Kita dibatasi oleh kebebasan orang lain untuk juga dapat berpendapat. Kita dibatasi oleh agama dan nilai-nilai sosial yang kita anut. Kita dibatasi oleh hak orang lain untuk menempati ruang publik yang nyaman. Kita dibatasi oleh asas kemanusiaan untuk memanusiakan manusia.
Sebagai contoh, taman kota yang biasa digunakan masyarakat untuk bercengkrama tiba-tiba dirusak oleh sekelompok orang. Apakah kita tidak berhak untuk bersuara karena kenyamanan kita terganggu? Apakah kita tidak boleh menyatakan kritik? Tentu diperbolehkan, selama kita menggunakan etika dan penyampaian yang pantas.
Informasi yang terus datang bertubi-tubi pada era globalisasi menuntut kita untuk cerdas memilah dan menyaringnya. Kemerdekaan dan kebebasan berpendapat memanglah hak setiap orang, namun kemerdekaan dan kebebasan berpendapat harus seiring dengan kewajiban serta pertanggungjawaban yang mengikuti. Jangan sampai yang smart cuma smartphone dan gadget-nya saja. Orangnya harus lebih smart dong..
Dituliskan untuk #KEBloggingCollab kelompok Najwa Shihab, dengan postingan trigger dari Mak Julia: Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan
Trackbacks/Pingbacks