Izinkan Aku

Izinkan aku
Untuk pergi. 
Meninggalkanmu beserta kenangan-kenangan kita. 

Izinkan aku 
tak lagi mengenalmu. 
Membiarkanmu bersikap seolah kita hanya dua orang asing. 

Izinkan aku 
Membuka matamu. 
Membuatmu sadar kita tidaklah ditakdirkan bersama. 

Izinkan aku 
Untuk membencimu. 
Bertahan di sisimulah hal terberat dalam hidupku. 

Dan izinkan aku 
Hanya melihatmu dari kejauhan. 
Menjagamu dalam diam dalam keheningan yang tidak lagi menyakitkan.

Bisakah Kita Kembali ke Masa Lalu?

Bisakah Kita Kembali ke Masa Lalu?

Bisakah kita kembali ke masa lalu?

 

Di saat kita hanyalah dua orang asing yang tak sengaja dipertemukan. 

Saat belum ada kata kita. Hanya ada kata aku dan kamu. 

Tidakkah kamu ingin kembali? 

Mengulang waktu mencoba kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin saja bisa terjadi. 

Dan jika kita bisa kembali akankah mengenalku pun kamu enggan? Ataukah kamu bersikeras memperjuangkan kita? 

Ada saatnya aku berandai-andai bisa mengulang masa saat takdir belum menyinggung kita. Jika kita tidak pernah bertemu akan jadi apakah kita? 

Dua orang asing yang hanya saling senyum saat bertemu di jalan? 

Dua orang yang saling melirik sinis saat pandangan tanpa sengaja tersirobok? 

Ataukah kamu hanya ingin kembali ke satu waktu di saat kita masih bersama?

 
Jika Nantinya Jarak itu Tiba

Jika Nantinya Jarak itu Tiba

Akan tiba waktunya cobaan datang menerpa. Membuat kita rapuh. 
Seolah hati hanyalah seonggok daging. Busuk. Tak ada ubahnya dengan mulut-mulut yang biasa mencaci saudaranya sendiri. Jika nantinya kita terpisah oleh jarak akan rapuhkah kita? Hingga berpisah menjadi satu-satunya jawaban atas segala permasalahan. 

Semudah itukah? 

Apakah kebersamaan kita selama ini tidak berarti? Tidak cukupkah kepercayaan menjadi landasan? Ataukah semua akan menjadi sebuah kenangan? 

Inginkah kita menjadi dua kubu dalam perselisihan? Saling menghindari layaknya tak pantas ada. 

Segampang itukah kamu melupakan? Tidak bersisakah bagi kita harapan? 

Ada dua hati yang harusnya saling kita jaga. Ada tunas-tunas kepercayaan yang harusnya kita pupuk setiap hari. Agar ia tumbuh subur. Agar ia menjadi pijakan kita dalam melangkah. 

Bukannya kita saling menyakiti. Bukannya kita saling berlari. Seperti ini.

Karena jarak harusnya bukan alasan.

Biarkan ia menjadi sebuah kata. Tanpa adanya makna.

Jarak bukan berarti melupakan. Jarak bukan berarti menjauh.

Biarkan jarak menjadi sebuah hal lucu yang patut kita tertawakan. Sesuatu yang harusnya bisa kita jadikan lelucon yang mengundang senyum dikulum.

Biarkan jarak menjadi rindu. Rindu yang kita simpan selama beberapa waktu. Rindu yang membuncah dalam dada. Maka jika nanti kita bertemu kembali rindu itu hilang. Lenyap. Hingga nantinya rindu itu akan datang lagi.

Bisakah kita saling percaya?

Bisakah hati kita saling menjaga?

-Seonggok tuntutan menulis yang tiba-tiba datang. Lagi-lagi aku membuat pernyataan: ini fiksi.-

 
 
Seandainya Suatu Saat Nanti

Seandainya Suatu Saat Nanti

Seandainya suatu hari nanti aku menghilang akankah ada yang menyadari? 
Bahwa aku tidak berada di tempat yang biasa. Kesendirian selama ini menjadi teman. Bukannya aku tak peduli tapi memang inilah kenyataan. 

Bahwa ternyata selama ini kita tidak sejalan. 

Jika aku tak berada di sisi adakah yang mau repot mencari? 

Berteman sepi aku bercerita. Dalam sunyi aku tersedu. Menelan duka diam-diam. 

Sudah habis semua kesabaran. Juga harapan. Memori-memori indah yang harusnya menguatkan tidak bisa lagi dikenang. 

Jika nantinya aku lenyap digerogoti waktu adakah yang berbelas kasih? 

Tak tersisakah secuil rindu untukku? 

Akankah ada yang menangis jika aku pergi? Adakah yang terluka jika aku tiada? 

Ataukah semua tertawa bahagia?

 
 
DMCA.com Protection Status

Pin It on Pinterest