Seharusnya, hari ini ia berusia kurang dari 50 tahun saja. Seharusnya, kini ia masih ada di sisi, mengiringi jejak langkah kami, anak-anaknya. Yang membantu meluruskan saat jalan panjang itu mulai berkelok-kelok tanpa sengaja.
Seandainya umurnya tak terhenti tepat satu tahun lalu. Ya, seandainya.
Selama ini aku tak pernah menyangka semerbak obat-obatan di ICU akan kuhidu secepat itu. Sendirian, dengan harap-harap cemas di setiap detiknya, melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana angka-angka di layar monitor alat perekam detak jantung perlahan tapi pasti, terus menurun drastis. Dengan lugunya pula aku bertanya kepada petugas ICU, apa yang terjadi, lalu mendapat jawaban tidak apa-apa, semua baik-baik saja.
Dan lima menit kemudian, teriakanku sontak terdengar saat melihat layar monitor alat perekam detak jantung itu menampilkan garis lurus. Semua berubah bagai mimpi belaka, di mana orang-orang yang berhamburan masuk ke ruangan malah terlihat jauh, jauh sekali hingga tak terjangkau lagi. Terutama saat alat pemicu detak jantung itu diletakkan di dadanya, mencoba mengembalikan sebuah tanda kehidupan. Sekali, dua kali, tiga kali. Hingga dokter pun menyerah dan tiba waktunya mengumumkan waktu kematian.
Padahal selama ini kukira aku sudah mengalami berbagai macam kehilangan hingga kebal. Namun nyatanya aku kehilangan, lagi. Dan rasa sakit itu ternyata masih sama.
Saat itu aku merasa bukan hanya Ayah yang pergi, diriku pun ikut mati. Layaknya sebelah kaki dan tangan ini dipotong paksa. Laiknya duniaku berhenti berputar, runtuh, luluh lantak. Aku terjebak dalam pusaran kegelapan. Hitam, kelam, menenggelamkan. Semua terasa sunyi, tiba-tiba semua sepi.
Sungguh aku tak pernah mengira selang-selang di seluruh tubuhnya itu adalah sebuah pertanda bahwa ia akan pergi meninggalkan kami semua. Bahwa ucapannya untuk selalu baik pada adek-adek adalah wasiatnya. Dan permintaan untuk mencium pipinya itu adalah pintanya yang terakhir.
Padahal beberapa hari sebelumnya, senyum letih itulah yang ia tampakkan padaku saat dini hari menjelang dan mendapati lagi-lagi anaknya satu ini belum memejamkan mata sedikit pun. Padahal biasanya ia yang selalu ribut saat aku masih terjaga di depan laptop ataupun ponsel, terjebak insomnia.
Ah, aku memang tak pernah peka. Dan ketidakpekaanku tersebut berujung pada penyesalan. Mengapa tak sedikit pun aku bisa menangkap pertanda-pertanda itu? Mengapa aku tak bisa mengatakan bahwa ialah yang paling berharga untukku di dunia, bahkan hingga detik-detik terakhirnya?
Tidak bisa kuhitung setelahnya, berapa lama aku harus belajar berjalan dengan sebelah kaki. Terseok-seok melangkah, terperosok, mencoba berdiri, dan terjatuh lagi. Hari-hari di mana aku belajar memaafkan diri, mengikhlaskan, merasa jauh lebih baik, dan kembali terpuruk. Tetes demi tetes air mata itu berkejaran tanpa henti, bukannya tanpa menguras emosi. Dan semua terjadi berulang-ulang, bak lingkaran setan tak berkesudahan.
Karena memang perkara mengikhlaskan tak pernah segampang mengucapkan.
Aku kehilangan. Tak ada lagi Ayah yang selalu mengajarkan untuk menemukan hal baik dari semua orang. Tak ada lagi Ayah yang selalu menuntut tapi juga membebaskan di saat bersamaan. Tak ada lagi sosok Ayah sekaligus seorang teman saat dibutuhkan.
Betapa aku rindu obrolan-obrolan panjang saat aku membutuhkan saran dalam menentukan langkah ke depan. Aku rindu ceramah-ceramahnya saat langkahku mulai goyah. Aku rindu canda tawa dan gangguan-gangguannya setiap kali aku jauh dan kami baru bisa bertemu. Aku rindu momen keheningan saat kami sibuk masing-masing, aku dengan ponselku dan Ayah dengan kerjaannya.
Bahkan beberapa trip terakhir terasa tak lagi sama. Ada yang hilang: perdebatan-perdebatan kami berdua karena keinginan Ayah agar anak perempuannya lebih banyak di rumah ketimbang jalan-jalan sana-sini. Drama-drama setiap kali aku mengungkapkan keinginan untuk pergi. Telepon-telepon secara berkala bahkan hingga dini hari itu, sekadar memastikan anaknya baik-baik saja. Deretan chat berisi permintaannya untuk selalu memberikan kabar, aku sedang di mana? Apakah semua baik?
Tak ada lagi video call-video call dan momen saat Ayah berusaha mengobrol dengan bahasa Inggris denganku, meski aku dan Ayah sama-sama tahu bahwa semua yang dikatakannya itu masih jauh dari kata benar, hanya karena aku pergi ke daerah baru dengan bahasa asing. Tak ada lagi pelukan hangat saat aku kembali, berkat kekhawatirannya yang selalu berlebihan.
Tak ada lagi ‘rumah’ tempatku pulang.
Dan kini tepat satu tahun berlalu tanpa kehadirannya. Hidup masih harus terus berlanjut, karena sesungguhnya perjalanan ke depan masih panjang. Mungkin sudah banyak yang lupa akan dirinya, berbeda dengan aku dan keluarga yang selalu merasakan ia ada. Bahwa ia masih ada di sini, bersama kami.
Aku masih harus belajar mengenai banyak hal. Tentang mengikhlaskan dan memaafkan, terutama. Sudah cukup sedih-sedihannya. Bagi yang biasa main ke blog ini pun pasti merasa bahwa tulisan-tulisanku selama setahun belakangan ini seringkali diselimuti nuansa kesedihan, haha. Untuk itu, setelah ini aku akan berusaha untuk kembali ke ritme menulis yang dulu, dan kembali ke tulisan-tulisan Anin yang ceria. Doakan saja ya.
Apalagi sudah banyak hutang tulisan yang menuntut untuk segera diselesaikan. Oh iya, juga membenarkan tulisan-tulisan dan catatan-catatan lama yang berantakan karena ganti template blog ini.
Dear Ayah, betapa aku rindu padamu. Sampai nanti pada saatnya kita kembali bertemu.
With love,
Anindita Ayu
Trackbacks/Pingbacks