“Dek, sebentar lagi kita ML yuk!” kata si adek keempat pada adek kelima sore itu. Kala itu aku baru saja tiba di rumah. Terkejutlah aku, mau marah tapi masih mencoba menahan diri.

“Iya Bang, adek pinjam hp mama dulu,” balas si adek bungsu.

Handphone? Barulah aku teringat, ML itu singkatan dari game Mobile Legends. Untung ngga marah-marah duluan.

Ah, adikku sayang adikku malang. Kalianlah generasi sekarang. Kids zaman now istilahnya.

Pendidikan memang menjadi faktor terpenting pada perkembangan anak zaman sekarang. Katanya sih, pendidikan zaman sekarang jauh lebih baik. Sekali lagi, katanya sih, lebih baik dibandingkan beberapa tahun lalu.

Tidak banyak yang tahu bahwa hanya beberapa hari selepas wisuda, aku menjadi guru tidak tetap di sebuah sekolah menengah kejuruan. Satu setengah tahun lamanya aku berprofesi sebagai seorang guru. Selama berkecimplung itu pula, aku mendapati banyak sekali kenyataan bahwa kids zaman now itu tidak baik-baik saja.

Baca juga: Kemerdekaan dan Kebebasan Berpendapat

Aku melepas profesi guru sekitar tujuh bulan lalu, namun bukan berarti aku benar-benar melepas sepenuhnya pengawasan terhadap anak-anak zaman sekarang. Seperti beberapa hari lalu misalnya, aku bertemu dengan seorang siswa yang bercerita dengan mirisnya pada seorang penilai.

“Untuk rancangan bangunan yang saya desain ini Pak, kalau di sini cuma diabaikan pemerintah. Saya tidak dianggap. Kalau dibawa ke Pulau Jawa, banyak yang menginginkan desain sana ini. Ini juga ada miniatur jembatan melengkung yang saya rancang dengan skala 1:400. Jembatan seperti ini belum ada di Indonesia Pak. Saya juga berencana membuat desain bandara di atas air seperti di luar negeri. Ini juga kalau memungkinkan tahun depan rancangan saya akan diikutkan lomba sama guru, Pak. Tapi tentu butuh biaya. Kalau biayanya paling banyak sebesar Rp 500.000,- saya ikut. Tapi jika lebih daripada itu, dengan berat hati saya mundur. Jika ada teman saya yang ingin maju, maka akan saya dukung dan bantu dari belakang.”

“Tapi rancangan kamu ini bagus nak. Apa tidak ada yang pernah menggunakan salah satu desain kamu? Dan untuk itu apakah kamu diberikan sejumlah uang? Kalau saya membutuhkan seorang desainer, kamu bisa kan bekerja untuk saya?”

“Ada kepala sekolah yang memakai desain saya untuk merenovasi sekolahnya Pak. Ada juga guru yang memakai desain saya untuk proyeknya. Saya tidak mementingkan uang Pak. Yang penting bagi saya itu, saya bisa belajar untuk jadi lebih baik lagi. Tentu saja saya mau jika bapak perlu seorang desainer.”

Oke, percakapannya tidak persis sama, tapi inti percakapannya kurang lebih seperti itu.

Kids Zaman Now

Kids Zaman Now

“Ini juga kalau memungkinkan tahun depan rancangan saya akan diikutkan lomba sama guru, Pak. Tapi tentu butuh biaya. Kalau biayanya paling banyak sebesar Rp 500.000,- saya ikut. Tapi jika lebih daripada itu, dengan berat hati saya mundur. Jika ada teman saya yang ingin maju, maka akan saya dukung dan bantu dari belakang.”

Miris bukan? Seorang anak yang memiliki bakat malah tersia-siakan.

Pernah juga aku mendapati seorang anak diminta orang tuanya sendiri untuk berhenti sekolah. Sebutnya, ayahnya tidak lagi sanggup membiayai sekolahnya. Toh, ia juga tidak pernah serius belajar.

Ada apa dengan kita? Siapa yang harus disalahkan?

Tentu saja, pendidikan seorang anak tidak bisa diserahkan begitu saja pada guru di sekolah. Sejak full day school mulai diterapkan, sebagian besar waktu produktif seorang anak memang dihabiskan di sekolah. Sebut saja mulai dari jam tujuh pagi hingga jam lima sore, tergantung pada sekolahnya. Selama sepuluh jam tersebut, anak-anak disibukkan oleh pelajaran dan berada pada pengawasan gurunya. Akan tetapi, selepas jam pulang sekolah, orang tualah yang mengambil alih tanggung jawab penuh tersebut.

Menurut beberapa anak, sepulang sekolah mereka masih dibebankan dengan tugas-tugas sekolah. Memang akan ada beberapa anak yang membangkang dan tidak peduli dengan tugas sekolah mereka. Di sinilah peran orang tua perlu ditekankan kembali.

Kids Zaman Now

 

Realita Kids Zaman Now

Selama satu setengah tahun yang singkat tersebut, aku belajar banyak hal. Selama itu pula, aku mendapati banyaknya ketimpangan. Siswa dipaksa untuk mempelajari materi yang terlalu berat. Sekolah juga seolah dipaksa untuk memberikan nilai tinggi pada seluruh siswa, sedangkan pada kenyataannya tidak semua siswa sanggup untuk menyerap pelajaran tersebut.

Ada apa? Apa yang terjadi pada dunia pendidikan kita?

Berbicara mengenai kids zaman now, tentu tidak bisa dipisahkan dengan generasi sebelumnya. Bandingkan saja dengan kami, para generasi 90an. Tidak butuh waktu lama teknologi merubah semua aspek kehidupan.

Baca kelanjutannya di: Kids Zaman Now, Kemajuan atau Kemunduran Bangsa?

 

Sumber gambar:
pixabay.com
instagram.com

DMCA.com Protection Status

Pin It on Pinterest